Rabu, 06 Mei 2015

Mentorku di Khitbah juga



Teruntuk kaka mentorku yang Shalihah,

Apa kabar wahai bidadari cantik yang Allah kirimkan untuk mengisi hariku di masa SMA, sungguh luar biasa ilmu yang kau bagi padaku, engkau menyampaikannya melalui hati, engkau pun selalu perhatian pada ku, menanyakan bagaimana mutaba’ah yaumiyahku, bagaimana keadaanku dan keluargaku. Hampir ku ingat semua jadwal pertanyaanmu sesaat di sesi tanya kabar, wahai kakakku yang shalihah.

“Awid, gimana kabarnya?” “Emmm, keluarga gimana? sehat?” “Sekolahnya gimana? Lagi banyak tugas ga? Udah UTS belum” dan yang paling andalan yang sering aku tambahkan adalah “Jodoh gimana jodoh? hehehehehehe” 

Bagiku engkau bukanlah sesosok senior atau alumni 5 tahun di atasku, tetapi engkau adalah sesosok kakak yang perhatian, selalu mengingatkan, dan selalu memberikanku “jamuan” yang sangat berharga lagi bermanfaat bagiku. Sekilas ku teringat akan “lingkaran” yang kita buat bersama dengan keluarga SC kece. Sudah hampir 1 tahun kita tidak membuat lingkaran tersebut. Sungguh aku benar-benar rindu dengan moment-moment indah bersama kalian keluargaku. 

Dalam lingkaran tersebut bagiku tidak hanya sekedar lingkaran, tetapi lingkaran itu adalah lingkaran pizza. Layaknya sebuah pizza, lingkaran tersebut terdapat topping dengan berbagai rasa, jika dinikmati bersama keluarga tentu akan sangat menyenangkan. Di lingkaran tersebut kita juga membuat berbagai rasa, ada rasa senang, canda, tawa, gosip *ups ga boleh gosip ya*, ada juga rasa sedih, keluh kesah, jengkel. Semua itu kita membuatnya bersama-sama.

Ka Yuni, sebentar lagi (dibaca: 31 Mei 2015) akan ada yang mengucapkan sighat akad dengan menyebutkan nama kaka di dalamnya, dan ketika saksi mengatakan “SAH”, maka muncullah tanggung jawab barumu, engkau bukan lagi seorang anak dari kedua orang tua, wanita yang memiliki adik-adik kece seperti kita. Tapi engkau juga sudah terikat menjadi istri bagi suamimu, dan ibu bagi calon anak-anakmu.

Wahai kakak cantik nan shalihah, aku tidak akan berkomentar atau membicarakan pendamping kakak, karena kakak memang belum pernah mengenalkannya padaku. Tapi aku sudah sedikit men-stalk akun di salah satu medsos beliau sih #EH KECEPLOSAN HEEHEHHEHE, bagiku beliau adalah sesosok laki-laki hebat yang pantas mendampingi wanita hebat seperti kakak. *ups kan aku udah bilang aku ga mau komentar*.

Ka, aku mungkin bukan adik yang perhatian, bukan anak mentor yang rajin datang. Aku bahkan sering telat dan bolos selama 2,5 tahun tersebut. Aku adalah seorang yang sering mentidaksempurnakan lingkaran tersebut. Dan sungguh di setiap aku menanyakan tentang jodoh kepada kakak, aku sendiri khawatir karena aku belum mengerti seperti apa jodoh sebenarnya. Bagaimana hidup dengan keluarga yang kita pimpin sendiri. Karena umurku aja masih terlalu dini. Mungkin suatu saat kakak akan menceritakan hal tersebut padaku.

Maafkan aku belum bisa memberikan kado pernikahan yang hasil keringatku sendiri, hasil karyaku sendiri. Tapi menurutku ada satu hadiah termewah yang paling mahal harganya ialah sebuah do’a dengan ketulusan hati. Semoga pernikahan kakak dilancarkan Allah SWT, dipermudah segala urusannya, diluaskan rizkynya. Juga semoga Kak Sri Yuni Hidayati bersama Suami menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menjadi orang tua dari generasi-generasi Islam. Menjadi anak dan menantu yang membahagiakan orangtua. Dan berjodoh tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat kelak. Aamiin Ya Rabbal ‘alamin, Allahuma Aamiiinn. Barakallahunakuma wa baraka ‘alaikuma wa Jama’ bainakuma fi Khoir. Happy Weding Kak Yuni dan kak Jahidin.

Sayang sekali aku terlambat 15 menit ketika kakak memberi undangan pernikahan tersebut, kakak sudah terjadwal ada agenda lain. Padahal aku rindu kakak sekali, kalau bahasa arabnya “Mistaq ziddan ilaiki”. Tapi aku berdo’a pada Allah, semoga aku dapat menghadiri walimah kakak, Aamiin. Ingat ka, “di balik laki-laki hebat ada wanita hebat” semoga kakak menjadi istri yang hebat untuk suami yang hebat dan ibu yang hebat bagi anak-anak yang hebat. Aamiiinnn.

Salam rinduku ka Yuni.


Jakarta-Bekasi, 2 Mei 2015
Salah satu adikmu yang kecenya badai :D

Selasa, 28 April 2015

Iman Kepada Allah



Nama               : Awiddatuts Tsiqoh
NIM                : 11140110000014
Mata Kuliah    : Aqidah
Dosen              : Dr. Dimyati, M.Ag.
Jurusan            : PAI
Semester          : 2.B



Iman kepada Allah dan Hikmahnya dalam Kehidupan

Sebagai umat Islam tentu kita pasti telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dan salah satunya ialah Ashadu `ala Ilaha Ilallah, yang berarti aku bersaksi tiada tuhan selain Allah. Secara tidak langsung kita telah mengakui bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang  kita miliki. Dengan mengakui bahwa hanya Allah saja satu-satunya Tuhan kita kita belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah. Sebagai seorang muslim, kita harus beriman kepada Allah secara kaffah, tidak boleh setengah-setengah. Kenyataannya banyak dari umat muslim yang belum memahami atau menerapkan beriman kepada Allah secara  kaffah.
Menurut etimologi, iman berarti membenarkan. Allah berfirman seraya menuturkan tentang saudara Yusuf bersama ayah mereka:
قَالُواْ يَأَبَانَآ إِنَّا ذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكْنَا يُوسُفَ عِنْدَ مَتَعِنَا فَأَكَلَهُ الذِّئْبُصلى وَمَآ أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَّنَا وَلَوْ كَنَا صَدِقِيْنَ
“Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” (Yusuf: 17)
Yaitu, engkau sekali-kali tidak akan percaya kepada kami.[1]
Menurut terminologi syariat, iman adalah “mengucapkan dengan lisan, meyakini dengan hati, dan mengamalkan dengan anggota badan, bertambah karena ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.”[2]
Beriman kepada Allah menurut definisi diatas tidak hanya mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya tetapi juga mengakui secara lisan dan non-lisan. Sebagai manusia yang diberi kelebihan memiliki akal oleh Allah tentu kita akan kritis dalam melaksanakan seseuatu termasuk mematuhi segala perintah. Manusia tidak akan menuruti perintah jika tidak mengetahui siapa yang memerintahkan apalagi untuk memberi kepercayaan jika belum mengetahui siapa yang diberi kepercaayaan tersebut. Sehingga dalam hal ini kita harus mengetahui Allah dan dzat-Nya.
Sesungguhnya keberadaan al-Khaliq adalah suatu aksioma yang tertanam dalam fitrah sanubari  manusia sejak ia mengenal diri dan alam sekitarnya. Sehubungan dengan itu, kami sajikan sejumlah dalil yang mungkin berguna sebagai sarana untuk membenarkan perasaan fitrah manusia itu. Juga diharapkan ia dapat menghilangkan keraguan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan.[3]
A.      Dalil Pertama: Dalil tentang Ada atau Tidak Adanya Allah
Dalil ini dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Asal al-Khaliq adalah ada, maka ada-Nya adalah wajib
2.      Asal alam raya adalah tidak ada, maka adanya adalah mungkin
3.      Penyebab bagi adanya sesuatu adalah wajib ada-Nya[4]
Kita ibaratkan bahwa semua yang terbesit di dalam benak kita asalnya adalah tidak ada. Makna tidak ada dalam hal ini adalah meniadakan atau menolak semua yang pernah terbesit di dalam benak dan meniadakan sifat-sifatnya. Hal ini membuat kita bertanya, “Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada yang merupakan asal, dapat berubah atau berganti menjadi ada? Bukankah kita merassakan bahwa kita itu ada? Tidakkah kita melihat banyak hal yang ada di sekitar kita?”[5]
Sangat mustahil secara aksioma bahwa sesuatu yang tidak ada berubah mejadai ada dengan sendirinya. Atau, dengan redaksi lain, mustahil sesuatu yang tidak ada dapat menjadikan adanya sesuatu. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur`an,
أَمْ خَلِقُواْ مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَلِقُونَ
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (ath-Thur: 35)
Demikianlah, jika tidak ada itu merupakan asal segala sesuatu, maka segala sesuatu yang kita lihat yang tidak terhitung jumlahnya tidak akan ada. Dari hal ini, kita paham bahwa asal segala sesuatu itu adalah ada. Secara pasti dapat ditetapkan berdasarkan akal bahwa tidaklah benar jika tidak ada merupakan asal segala sesuatu.[6]
       Berdasarkan hal itu, Abdurahman Hasan menyimpulkan sebagai berikut:
1.      Al-Wujud ‘ada’ itu merupakan asal
2.      Asal tidak membutuhkan sebab atau rincian, kecuali pernyataan: itulah asal.[7]
Dari kesimpulan diatas dapat pula dirumuskan, sebagai berikut:
1.      Bila ada itu merupakan asal, maka secara akal tidak kita benarkan wujud-nya mempunyai permulaan, sebab sesuatu yang adanya memiliki permulaan, memerlukan sebab keberadaannya.
2.      Bila ada merupakan asal, maka tidak mungkin disertai atau mengarah kepada tidak ada, sebab mustahil tidak ada menimpa hal atau sesuatu yang ada, kecuali hal atau sesuatu itu asalnya tidak ada. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur`an melalui firman Allah,
“Dan, bertakwalah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan, cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.” (al-Furqon: 58)
Yang hidup (kekal) itulah yang ada-Nya merupakan asal. Begitu pula hidupnya serta sifat-sifat sempurna-Nya. Sangatlah mustahil jika ia tertimpa oleh tidak ada.[8]
       Terbukti bahwa semua yang ada di jagat raya yang dapat dijangkau oleh indra asalnya adalah tidak ada. Menurut akal, keberadaannya mengharuskan adanya penyebab, yang memindahkan dari tidak ada menjadi ada, melalui proses yang sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Allah melalui firman-Nya di dalam al-Qur`an,
“Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat diebut? Ssesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insan: 1-2)
Sangatlah logis menurut aksioma bahwa yang tadinya tidak ada menjadi ada, pasti ada yang mengadakannya, yaitu al-Khaliq (Pencipta).[9]
     Lalu muncullah pernyataan yang dapat diterima oleh akal sehat, pernyataan itu ialah sebagai berikut:
1.    Menurut akal, harus ada satu wujud agung yang merupakan asal segala yang ada di jagat raya; dan tidak adanya adalah mustahil.
2.    Semua yang ada di jagat raya ini asalnya adalah tidak ada. Menjadikan ada dari tidak ada membutuhkan penyebab.
3.    Penyebab yang membuat adanya itu haruslah wujud yang Agung yang wujudnya merupakan asal segala sesuatu. Itulah Allah SWT.[10]
B.       Dalil Kedua: Dalil Kemungkinan
Semua yang ada dijagat raya ini berupa benda dengaan berbagai bentuk dan jenis, baik yang terjangkau oleh pancaindra atau yang hanya dapat dijangkau oleh perasaan, sangat mungkin digambarkan dalam bentuk yang berbeda dengan yang ada sekarang. Misalnya tentang besarnya, kecilnya, susunannya, dan sifat-sifatnya. Pada prinsipnya, kemungkinan yang tidak terbatas ini bukan hal yang mustahil bagi akal. Atau dengan kata lain, merupakan sesuatu yang mungkin secara akal.[11]
Kita memiliki landasan kuat untuk mengatakan bahwa kemungkinan itu ada yang membuatnya. Akal pikiran kita menetapkan bahwa pembuat aturan tersebut adalah Zat yang tidak termasuk bagian dari hal-hal yang terjangkau oleh akal. Akal juga mengharuskan pembuat aturan itu adalah Zat ataupun Sifat yang tidak dapat berubah.[12]
Banyak dalil-dalil yang berkaitan dengan dalil kemungkinan di dalam al-Qur`an, dan salah satu dalil yang artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemungkinan Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu.” (al-Furqan: 45)
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjelaskan bahwa gambar, aturan, posisi, dam keadaaan alam ini sangat mungkin berubah dan berganti rupa, dari ada menjadi tidak ada, dari satu keadaaan menjadi keadaan yang lain, yang semuanya tentu kehendak dan iradah Allah SWT.[13]
Jika yang dimaksud dalam ayat  tersebut adalah hal yang bersifat mungkin, maka ketetapan aturan dan posisinya seperti sekarang merupakan hal yang mungkin.
C.       Dalil Ketiga: Perubahan dan Sebab-Musabab
Jika kita melihat alam sekitar atau lingkungan hidup kita, kita dapat melihat melalui pancaindra, banyak hal yang dapat berubah, perubahan itu terjadi secara continue. Seperti halnya kita memakan buah alpukat, kita memakan daging buah alpukat, dan bijinya kita lempar begitu saja ke tanah, setelah beberapa hari biji tersebut mulai berubah menjadi tunas, dan setelah itu tunas tersebut merekat ke tanah, setelah beberapa bulan, kita melihat kembali tunas tersebut telah menjadi pohon kecil.
Selanjutnya setelah beberapa tahun, pohon yang tadinya kecil sudah menjadi pohon yang besar dan mulai tumbuh bunga putih diantara daun-daunnya. Seiring bergantinya musim, bunga tersebut mulai berguguran. Hal itu lantas tidak berarti perubahan sudah selesai, pucuk-pucuk bekas bunga tersebut muncullah buah-buah kecil dan beberapa bulan setelah itu buah-buah kecil itu menjadi buah alpukat yang siap panen dan dapat kita nikmati buah alpukat tersebut. Begitulah perubahan-perubahan tersebut.
Ada yang berubah secara cepat dan prosesnya dapat dilihat, seperti membesarnya hewan dan tumbuh-tumbuhan, namun ada pula yang tidak tampak oleh kita kecuali setelah ratusan atau bahkan ribuan tahun, seperti perubahan alam raya atau pergeseran posisi bintang-bintang.[14]
Menurut logika “segala bentuk perubahan tidak terlepas dari apa yang disebut kejadian.”[15] Dengan memperhatikan aturan umum di alam raya ini yang begitu sempurna tatanannya, kita melihat bahwa “setiap perubahan yang terjadi di alam semesta ini pasti memiliki penyebab.”[16]
Setiap perubahan alam pasti ada sebab yang hakiki dan sempurna qudrah-Nya. Dari-Nyalah datang kekuatan alam yang agung hingga perubahan apa pun di alam ini pasti sesuai dengan aturan yang yang sempurna dan bijaksana. Kekuatan itu menuunjukkan mahaluasnya ilmu, kehidupan, dan kebijakannya Zat yang menjadi sebab, Ia tidak sama dengan benda-benda alam yang dapat berubah. Kekuatan tersebut wajib adanya, Yang Maha Hidup, Maha Berilmu, dan Maha Bijaksana. Itulah Allah SWT.[17]
D.      Dalil Keempat: Kesempurnaan Aturan Alam Raya
Pembuatan jagat raya ini sungguh menakjubkan. Dia menempatkan bintang-bintang dan berbagai planet secara saksama. Bila terjadi sedikit saja pergerakan dan pergeseran, akan timbul berbagai kemungkinan negatif, ketidakseimbangan, atau bahkan kehancuran. Dari penjelasan para pakar ilmu falak, kita mengetahui betapa telitinya pembuat jagat raya ini. Hal ini menimbulkan rasa takjub dan kagum yang mendalam.[18]
Hal yang sama kita jumpai di alam fauna, flora, bumi, langit, lautan, gunung, daratan, bintang, planet-planet, malam, siang, musim panas, musim dingin, musim gugur, dan musim semi. Semua itu membuat kita semakin mengetahui keesaan Pencipta Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui segala sesuatu.[19]
Maka tidak diragukan lagi, secara aksioma, harus ada Pengatur tertentu Yang Maha Hidup, Maha Mampu, Berilmu tinggi, serta Mahabijaksana. Dialah yang menyusun dan mengatur secara sempurna. Akal pikiran juga mengharuskan secara aksioma bahwa kerapian dan keteraturan jagad raya ini tidak terjadi begitu saja.[20]
Menurut Syeikh Nuruddin dalam buku Allah dan Manusia dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar-Rariny yang ditulis oleh Ahmad Daudy, sifat itu dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi wujud dan segi pengertian. Dari segi wujud, “sifat itu berbeda dengan dzat (`ain dzat), karena wujud hakiki hanyalah dzat Allah semata, sehingga sifat itu tidak dapat berlainan dengan dzat.”[21] Hanya dari segi makna atau pengertian “sifat itu memang berbeda dengan dzat dan juga pengertian satu sifat dengan kainnya adalah tidak sama.”[22]
Terakhir kita menetapkan bahwa dalam pandangan akal maupun ilmu pengetahuan tidak ada satu pun bukti yang dapat dijadikan sebagai sandaran dalam meniadakan dan mengingkari eksistensi Allah. Segala sesuatu yang disebutkan oleh orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan itu tiada lain kecuali sekedar ilusi dan khayalan belaka, tidak bersandar kepada logika yang sehat maupun ilmu pengetahuan yang kokoh.[23]
Allah berfirman dalam al-Qur`an
وَقَالُواْ مَا هِىَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ إِلَّا الدَّهْرُج
Mereka berkata: Kehidupan ini tiada lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup. Dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” (al-Jaatsiyah,45: 24)
Esensi iman kepada Allah SWT adalah “Tauhid yaitu mengesakan-Nya, baik dalam zat, asma’ was-shiffaat, maupun af`al (perbuatan)-Nya.”[24]
Bertambah bersih cara kita berfikir, bertambah terbukalah jalan kepada Tauhid. Akhir perjalanan akal, walaupun dari pangkal yang mana kita mulai, hanyalah satu ucapan saja, yaitu:
لَاإِلهَ إِلَّا اللهُ.
“Tiada Tuhan melainkan Allah.”
Tiada satu makhluk pun sejak dari yang sebesar-besarnya, sampai yang sekecil-kecilnya yang akan sanggup kita “kandidatkan” menjadi Tuhan.[25]
Kalimat لَاإِلهَ إِلَّا اللهُ memiliki banyak sekali pengaruh atau hikmah yang luar biasa dalam kehidupan seorang mukmin, diantaranya:
1.        Dengan kalimat ini, orang mukmin tidak perlu susah, sebab mereka berbeda dengan pemganut politeisme, atau orang-orang yang mengingkari kalimat tauhid.
2.        Mengimani kalimat ini akan melahirkan kemuliaan jiwa yang tidak tergantikan oleh apa pun, karena tidak ada yang bisa memberi manfaat selain Allah, dan tiada yang mampu menimpakan marabahaya selain Dia. Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Dia Maha Bijaksana, Maha Kuat, Raja Para Raja, sehingga lenyap rasa takut dari hati, selain rasa takut kepada-Nya, tidak menundukkan kepala pada seorang manusia pun dan hanya tunduk pada-Nya, tidak mengemis ataupun takut pada kebesaran manusia, karena hanya Dia semata pemilik kebesaran, keagungan, dan kuasa. Ini tentu berbeda dengan orang musyrik, kafir, dan ateis.
3.        Kalimat tauhid melahirkan sifat rendah hati, namun bukan berarti hina, dan sifat mulia, namun bukan berarti sombong.
4.        Dengan kalimat ini, orang mukmin tahu dengan yakin bahwa tiada jalan menuju keselamatan dan keberuntungan selain dengan membersihkan jiwa dan beramal saleh. Sementara orang-orang musyrik dan kafir menghabiskan hidup di atas angan-angan dusta, sebagian dari mereka berkata, “anak Allah dibunuh dan disalib untuk menebus dosa-dosa kita di sisi Ayahnya.” Yang lain berkata, “kami anak-anak dan para kesayangan Allah. Kami tidak akan disiksa karena dosa-dosa kami.” Ada juga yang berkata, “kami akan mendapat syafaat di sisi Allah melalui para pembesar dan orang-orang bertakwa di antara kami.”
5.        Orang yang mengucapkan kalimat ini tidak memiliki sifat putus asa, karena ia meyakini bahwa Allah memiliki perbendaharaan langit dan bumi, karena itulah ia selalu merasa tenang, tenteram, dan berharap, hingga meskipun terusir, dihinakan dan jalan hidupnya penuh rintangan.
6.        Mengimani kalimat ini akan mendidik seseorang untuk memiliki tekad kuat, berani, sabar, tegar, dan tawakal ketika menghadapi masalah-masalah pelik demi mencari ridha Allah. Ia merasa di baliknya terdapat kekuatan Pemilik langit dan bumi, sehingga konsep inilah yang menjadi tumpuan kekuatannya, kuat laksana gunung.
7.        Kalimat ini mendorong dan memenuhi hati seseorang dengan keberanian, karena yang membuat orang bersifat pengecut dan melemahkan tekad ada dua; cinta diri, harta, keluarga, atau memiliki keyakinan ada sosok lain selain Allah yang mematikan seseorang.
8.        Mengimani لَاإِلهَ إِلَّا اللهُ membuat seseorang mengindahkan dan menjaga syariat Allah, karena orang mukmin yakin bahwa Allah Maha melihat segala sesuatu. Dia lebih dekat padanya melebihi urat lehernya sendiri. Meski bisa melepaskan diri dari serangan apa pun, ia tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari Allah. Seberapa kuat keimananan ini tertanam dalam benak seseorang, seperti itu pula kekuatannya dalam mengikuti dan mengindahkan hukum-hukum Allah, tidak berani menerjang larangan-Nya, bersegera mengerjakan segala kebaikan dan menunaikan perintahn-Nya.[26]
Maka Tauhid adalah “roh-nya agama Islam dan jauhar intisarinya dan pusat dari seluruh peribadatannya. Laksana tanah kering, menjadi suburlah dia kalau telah disiram oleh air Tauhid. Al-Qur`an menjelaskan hakikatnya berulang-ulang.”[27]
Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau tahapan, yaitu:
A.    Tauhid Rububiyah, yaitu mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb
B.     Tauhid Mulkiyah, yaitu mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik
C.     Tauhid Ilahiyah, yaitu mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah.[28]
Setelah kita mengetahui siapakah Tuhan, dan bagaimana cara beriman beriman, tentu kita harus mengetahui Etika terhadap-Nya. Dalam beretika terhadap Sang Pencipta tentu berbeda dengan etika kita terhadap makhluk-Nya, seperti manusia. Apabila etika kita kepada Sang Maha Pencipta sudah baik, tentu kepada makhluk-Nya akan baik pula.
Orang muslim melihat dalam dirinya nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang tidak bisa dikalkulasikan sejak ia masih berupa sperma di perut ibunya hingga ia menghadap Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat tersebut dengan lisannya dengan memuji-Nya dan menyanjung-Nya karena Dia berhak mendapatkan sanjungan dan ia bersyukur dengan anggota badannya dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya. Ini etikanya terhadap Allah Ta’ala, sebab tidak etis mengingkari nikmat, menentang keutamaan Pemberi nikmat, memungkiri-Nya, memungkiri kebaikan-Nya, dan memungkiri nikmat-nikmat-Nya.[29] Allah SWT berfirman dalam al-Qur`an, yang artinya:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah.” (an-Nahl:53)
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat menentukan jumlahnya.” (an-Nahl:18)
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat kepada kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.” (al-Baqarah: 152)
            Orang muslim mengakui pengetahuan Allah Ta’ala kepadanya, dan penglihatan-Nya terhadap seluruh kondisinya, kemudian hatinya penuh dengan ketakutan kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya. Ia malu bermaksiat kepada-Nya, menentang-Nya, dan tidak taat kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Allah Ta’ala, sebab sangat tidak etis seorang hamba mempertontonkan kemaksiatannya kepada Tuhannya, atau mempersembahkan keburukan kepada-Nya, padahal Dia melihatnya dan menyaksikannya.[30]
Orang muslim berpendapat bahwa Allah Mahakuasa atas dirinya, dan memegang ubun-ubunnya. Ia tidak mempunyai tempat melarikan diri, atau tempat menyelamatkan diri, kecuali kepada-Nya, kemudian ia lari menghadap kepada-Nya, menjatuhkan diri didepan-Nya, menyerahkan seluruh persoalan kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Tuhan, dan Penciptanya.[31]
Orang muslim melihat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala dalam semua urusannya, rahmat-Nya kepadanya, kepada semua makhluk-Nya, kemudian ia ingin mendapatkan tambahan rahmat-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketundukan dan do`a yang ikhlas, bertawasul kepada-Nya dengan perkataan yang baik, dan amal perbuatan yang shalih.[32]
Orang muslim melihat kedahsyatan kekuatan Tuhannya, kekuatan pembalasan-Nya, dan kecepatan penghisaban-Nya, kemudian ia bertakwa dengan taat, dan tidak bermaksiat kepada-Nya.[33] Orang Muslim melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia bermaksiat dan tidak taat kepada-Nya. Ia merasa seolah-olah ancaman Allah Ta’ala telah mengenai dirinya, siksa-Nya telah terjadi padanya, dan hukumannya telah turun kepadanya. Ia juga melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia taat dan mengikuti syariat-Nya. Ia merasa seolah-olah Dia telah memberikan janji-Nya kepadanya, dan pakaian keridhaan telah dikenakan padannya, kemudian ia berbaik sangka kepada-Nya.[34]
Sebagai seorang muslim atau muslimah sangat penting bagi kita untuk meyakini bahwa Tuhan itu ada, dan beriman kepada Allah. Seorang muslim wajib mengesakan Allah Ta’ala, tidak ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. Dengan men-tauhid-kan Allah, tentu banyak sekali hikmah atau pengaruh yang dapat kita ambil dalam kehidupan sehari-sehari.
Demikianlah artikel yang berjudul Iman kepada Allah dan Hikmahnya dalam Kehidupan ini. Penulis berharap artikel ini tidak hanya berguna sebagai tugas mata kuliah individu penulis, tetapi juga sebagai bahan acuan penulis untuk mengesakan Allah Ta’ala semata.

Ttd          
Awiddatuts Tsiqoh
REFERENSI

Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Iman kepada Allah. Diterjemahkan oleh Umar Mujtahid. Jakarta: Ummul Qura. 2014
Al-Maidani, Abdurahman Hasan Habanakah. Pokok-pokok Akidah Islam. Diterjemahkan oleh A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press. 1998
Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar-Rariny. Jakarta: Radar Jaya Offset. 1983
Sabiq, Sayyid. Aqidah Islamiyah. Diterjemahkan oleh Ali Mahmudi. Jakarta: Robbani Press. 2006
Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. 1995
Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: NV Bulan Bintang. 1992
Al-Jazairi, Abu Bakr Jabir. Enskiklopedi Muslim. Diterjemahkan oleh Fadhli Bahri. Jakarta: Darul Falah. 2003



[1] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman kepada Allah, diterjemahkan oleh Umar Mujtahid, (Jakarta: Ummul Qura, 2014), cet.1, h.279
[2] Ibid., h.280
[3] Abdurahman Hasan Habanakah al-Maidani, Pokok-pokok Akidah Islam, diterjemahkan oleh A.M. Basalamah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), cet.1, h.100
[4] Ibid.,
[5] Ibid., h.101
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid., h.102
[9] Ibid., h.103
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid.,
[13] Ibid., h. 105
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Ibid., h. 106
[17] Ibid.,
[18] Ibid., h.109
[19] Ibid.,                                     
[20] Ibid.,
[21] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar-Rariny, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 1983), cet. 1, h.92
[22] Ibid.,
[23] Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, diterjemahkan oleh Ali Mahmudi (Jakarta: Robbani Press, 2006), Cet.1, h. 66
[24] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 1995), cet.3, h.18                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
[25] Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: NV Bulan Bintang, 1992), Cet. 11, h.60
[26] Ali Muhammad Ash-Shallabi, op.cit., h.63-65
[27] Ibid., h.62
[28] Yunahar Ilyas, Loc.cit.,
[29] Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Enskiklopedi Muslim, diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2003), cet.6, h.109
[30] Ibid.,
[31] Ibid., h.110
[32] Ibid.,
[33] Ibid., h.111
[34] Ibid.,