Nama : Awiddatuts Tsiqoh
NIM : 11140110000014
Mata Kuliah : Aqidah
Dosen : Dr. Dimyati, M.Ag.
Jurusan : PAI
Semester : 2.B
Iman
kepada Allah dan Hikmahnya dalam Kehidupan
Sebagai
umat Islam tentu kita pasti telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dan salah
satunya ialah Ashadu `ala Ilaha Ilallah, yang berarti aku bersaksi tiada
tuhan selain Allah. Secara tidak langsung kita telah mengakui bahwa hanya
Allah-lah satu-satunya Tuhan yang kita
miliki. Dengan mengakui bahwa hanya Allah saja satu-satunya Tuhan kita kita
belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah. Sebagai seorang muslim, kita
harus beriman kepada Allah secara kaffah, tidak boleh setengah-setengah.
Kenyataannya banyak dari umat muslim yang belum memahami atau menerapkan
beriman kepada Allah secara kaffah.
Menurut
etimologi, iman berarti membenarkan. Allah berfirman seraya menuturkan tentang
saudara Yusuf bersama ayah mereka:
قَالُواْ يَأَبَانَآ إِنَّا ذَهَبْنَا
نَسْتَبِقُ وَتَرَكْنَا يُوسُفَ عِنْدَ مَتَعِنَا فَأَكَلَهُ الذِّئْبُصلى
وَمَآ
أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَّنَا وَلَوْ كَنَا صَدِقِيْنَ
“Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami,
sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat
barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan
percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” (Yusuf: 17)
Yaitu, engkau
sekali-kali tidak akan percaya kepada kami.
Menurut
terminologi syariat, iman adalah “mengucapkan dengan lisan, meyakini dengan
hati, dan mengamalkan dengan anggota badan, bertambah karena ketaatan dan
berkurang karena kemaksiatan.”
Beriman
kepada Allah menurut definisi diatas tidak hanya mematuhi segala perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya tetapi juga mengakui secara lisan dan non-lisan. Sebagai
manusia yang diberi kelebihan memiliki akal oleh Allah tentu kita akan kritis
dalam melaksanakan seseuatu termasuk mematuhi segala perintah. Manusia tidak
akan menuruti perintah jika tidak mengetahui siapa yang memerintahkan apalagi
untuk memberi kepercayaan jika belum mengetahui siapa yang diberi kepercaayaan
tersebut. Sehingga dalam hal ini kita harus mengetahui Allah dan dzat-Nya.
Sesungguhnya
keberadaan al-Khaliq adalah suatu aksioma yang tertanam dalam fitrah sanubari manusia sejak ia mengenal diri dan alam
sekitarnya. Sehubungan dengan itu, kami sajikan sejumlah dalil yang mungkin
berguna sebagai sarana untuk membenarkan perasaan fitrah manusia itu. Juga
diharapkan ia dapat menghilangkan keraguan yang disebabkan oleh pengaruh
lingkungan.
A. Dalil
Pertama: Dalil tentang Ada atau Tidak Adanya Allah
Dalil ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Asal
al-Khaliq adalah ada, maka ada-Nya adalah wajib
2. Asal
alam raya adalah tidak ada, maka adanya adalah mungkin
3. Penyebab
bagi adanya sesuatu adalah wajib ada-Nya
Kita
ibaratkan bahwa semua yang terbesit di dalam benak kita asalnya adalah tidak
ada. Makna tidak ada dalam hal ini adalah meniadakan atau menolak semua
yang pernah terbesit di dalam benak dan meniadakan sifat-sifatnya. Hal ini
membuat kita bertanya, “Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada yang merupakan
asal, dapat berubah atau berganti menjadi ada? Bukankah kita merassakan bahwa
kita itu ada? Tidakkah kita melihat banyak hal yang ada di sekitar kita?”
Sangat
mustahil secara aksioma bahwa sesuatu yang tidak ada berubah mejadai ada dengan
sendirinya. Atau, dengan redaksi lain, mustahil sesuatu yang tidak ada dapat
menjadikan adanya sesuatu. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur`an,
أَمْ
خَلِقُواْ مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَلِقُونَ
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?”
(ath-Thur: 35)
Demikianlah,
jika tidak ada itu merupakan asal segala sesuatu, maka segala sesuatu yang
kita lihat yang tidak terhitung jumlahnya tidak akan ada. Dari hal ini, kita
paham bahwa asal segala sesuatu itu adalah ada. Secara pasti dapat
ditetapkan berdasarkan akal bahwa tidaklah benar jika tidak ada
merupakan asal segala sesuatu.
Berdasarkan hal itu, Abdurahman Hasan
menyimpulkan sebagai berikut:
1.
Al-Wujud ‘ada’ itu
merupakan asal
2.
Asal tidak
membutuhkan sebab atau rincian, kecuali pernyataan: itulah asal.
Dari
kesimpulan diatas dapat pula dirumuskan, sebagai berikut:
1.
Bila ada itu merupakan asal, maka
secara akal tidak kita benarkan wujud-nya mempunyai permulaan, sebab sesuatu
yang adanya memiliki permulaan, memerlukan sebab keberadaannya.
2.
Bila ada merupakan asal, maka
tidak mungkin disertai atau mengarah kepada tidak ada, sebab mustahil tidak ada
menimpa hal atau sesuatu yang ada, kecuali hal atau sesuatu itu asalnya tidak
ada. Hal ini diisyaratkan oleh al-Qur`an melalui firman Allah,
“Dan,
bertakwalah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah
dengan memuji-Nya. Dan, cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya.”
(al-Furqon: 58)
Yang
hidup (kekal) itulah yang ada-Nya merupakan asal. Begitu pula hidupnya serta
sifat-sifat sempurna-Nya. Sangatlah mustahil jika ia tertimpa oleh tidak ada.
Terbukti bahwa semua yang ada di jagat
raya yang dapat dijangkau oleh indra asalnya adalah tidak ada. Menurut akal,
keberadaannya mengharuskan adanya penyebab, yang memindahkan dari tidak ada
menjadi ada, melalui proses yang sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Allah
melalui firman-Nya di dalam al-Qur`an,
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum
merupakan sesuatu yang dapat diebut? Ssesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan
perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (al-Insan: 1-2)
Sangatlah
logis menurut aksioma bahwa yang tadinya tidak ada menjadi ada, pasti ada yang
mengadakannya, yaitu al-Khaliq (Pencipta).
Lalu muncullah pernyataan yang dapat
diterima oleh akal sehat, pernyataan itu ialah sebagai berikut:
1.
Menurut akal, harus ada satu
wujud agung yang merupakan asal segala yang ada di jagat raya; dan tidak
adanya adalah mustahil.
2.
Semua yang ada di jagat raya ini
asalnya adalah tidak ada. Menjadikan ada dari tidak ada membutuhkan penyebab.
3.
Penyebab yang membuat adanya itu
haruslah wujud yang Agung yang wujudnya merupakan asal segala sesuatu. Itulah
Allah SWT.
B. Dalil
Kedua: Dalil Kemungkinan
Semua
yang ada dijagat raya ini berupa benda dengaan berbagai bentuk dan jenis, baik
yang terjangkau oleh pancaindra atau yang hanya dapat dijangkau oleh perasaan,
sangat mungkin digambarkan dalam bentuk yang berbeda dengan yang ada sekarang.
Misalnya tentang besarnya, kecilnya, susunannya, dan sifat-sifatnya. Pada
prinsipnya, kemungkinan yang tidak terbatas ini bukan hal yang mustahil bagi
akal. Atau dengan kata lain, merupakan sesuatu yang mungkin secara akal.
Kita
memiliki landasan kuat untuk mengatakan bahwa kemungkinan itu ada yang
membuatnya. Akal pikiran kita menetapkan bahwa pembuat aturan tersebut adalah
Zat yang tidak termasuk bagian dari hal-hal yang terjangkau oleh akal. Akal
juga mengharuskan pembuat aturan itu adalah Zat ataupun Sifat yang tidak dapat
berubah.
Banyak dalil-dalil yang berkaitan dengan
dalil kemungkinan di dalam al-Qur`an, dan salah satu dalil yang artinya:
“Apakah
kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan
memendekkan) bayang-bayang; dan kalau Dia menghendaki niscaya Dia menjadikan
tetap bayang-bayang itu, kemungkinan Kami jadikan matahari sebagai petunjuk
atas bayang-bayang itu.” (al-Furqan: 45)
Dalam ayat tersebut Allah SWT
menjelaskan bahwa gambar, aturan, posisi, dam keadaaan alam ini sangat mungkin
berubah dan berganti rupa, dari ada menjadi tidak ada, dari satu keadaaan
menjadi keadaan yang lain, yang semuanya tentu kehendak dan iradah Allah
SWT.
Jika yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah hal yang bersifat mungkin,
maka ketetapan aturan dan posisinya seperti sekarang merupakan hal yang
mungkin.
C. Dalil
Ketiga: Perubahan dan Sebab-Musabab
Jika kita melihat alam sekitar atau
lingkungan hidup kita, kita dapat melihat melalui pancaindra, banyak hal yang
dapat berubah, perubahan itu terjadi secara continue. Seperti halnya
kita memakan buah alpukat, kita memakan daging buah alpukat, dan bijinya kita
lempar begitu saja ke tanah, setelah beberapa hari biji tersebut mulai berubah
menjadi tunas, dan setelah itu tunas tersebut merekat ke tanah, setelah
beberapa bulan, kita melihat kembali tunas tersebut telah menjadi pohon kecil.
Selanjutnya setelah beberapa tahun,
pohon yang tadinya kecil sudah menjadi pohon yang besar dan mulai tumbuh bunga
putih diantara daun-daunnya. Seiring bergantinya musim, bunga tersebut mulai
berguguran. Hal itu lantas tidak berarti perubahan sudah selesai, pucuk-pucuk
bekas bunga tersebut muncullah buah-buah kecil dan beberapa bulan setelah itu
buah-buah kecil itu menjadi buah alpukat yang siap panen dan dapat kita nikmati
buah alpukat tersebut. Begitulah perubahan-perubahan tersebut.
Ada yang berubah secara cepat dan
prosesnya dapat dilihat, seperti membesarnya hewan dan tumbuh-tumbuhan, namun
ada pula yang tidak tampak oleh kita kecuali setelah ratusan atau bahkan ribuan
tahun, seperti perubahan alam raya atau pergeseran posisi bintang-bintang.
Menurut logika “segala bentuk perubahan
tidak terlepas dari apa yang disebut kejadian.”
Dengan memperhatikan aturan umum di alam raya ini yang begitu sempurna
tatanannya, kita melihat bahwa “setiap perubahan yang terjadi di alam semesta
ini pasti memiliki penyebab.”
Setiap
perubahan alam pasti ada sebab yang hakiki dan sempurna qudrah-Nya. Dari-Nyalah
datang kekuatan alam yang agung hingga perubahan apa pun di alam ini pasti
sesuai dengan aturan yang yang sempurna dan bijaksana. Kekuatan itu
menuunjukkan mahaluasnya ilmu, kehidupan, dan kebijakannya Zat yang menjadi
sebab, Ia tidak sama dengan benda-benda alam yang dapat berubah. Kekuatan
tersebut wajib adanya, Yang Maha Hidup, Maha Berilmu, dan Maha Bijaksana.
Itulah Allah SWT.
D. Dalil
Keempat: Kesempurnaan Aturan Alam Raya
Pembuatan
jagat raya ini sungguh menakjubkan. Dia menempatkan bintang-bintang dan
berbagai planet secara saksama. Bila terjadi sedikit saja pergerakan dan
pergeseran, akan timbul berbagai kemungkinan negatif, ketidakseimbangan, atau
bahkan kehancuran. Dari penjelasan para pakar ilmu falak, kita mengetahui
betapa telitinya pembuat jagat raya ini. Hal ini menimbulkan rasa takjub dan
kagum yang mendalam.
Hal
yang sama kita jumpai di alam fauna, flora, bumi, langit, lautan, gunung,
daratan, bintang, planet-planet, malam, siang, musim panas, musim dingin, musim
gugur, dan musim semi. Semua itu membuat kita semakin mengetahui keesaan
Pencipta Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui segala sesuatu.
Maka
tidak diragukan lagi, secara aksioma, harus ada Pengatur tertentu Yang Maha
Hidup, Maha Mampu, Berilmu tinggi, serta Mahabijaksana. Dialah yang menyusun
dan mengatur secara sempurna. Akal pikiran juga mengharuskan secara aksioma
bahwa kerapian dan keteraturan jagad raya ini tidak terjadi begitu saja.
Menurut
Syeikh Nuruddin dalam buku Allah dan Manusia dalam Konsep Syeikh Nuruddin
Ar-Rariny yang ditulis oleh Ahmad Daudy, sifat itu dapat dilihat dari dua segi,
yaitu segi wujud dan segi pengertian. Dari segi wujud, “sifat itu
berbeda dengan dzat (`ain dzat), karena wujud hakiki hanyalah dzat Allah
semata, sehingga sifat itu tidak dapat berlainan dengan dzat.”
Hanya dari segi makna atau pengertian “sifat itu memang berbeda dengan
dzat dan juga pengertian satu sifat dengan kainnya adalah tidak sama.”
Terakhir
kita menetapkan bahwa dalam pandangan akal maupun ilmu pengetahuan tidak ada
satu pun bukti yang dapat dijadikan sebagai sandaran dalam meniadakan dan
mengingkari eksistensi Allah. Segala sesuatu yang disebutkan oleh orang-orang
yang mengingkari eksistensi Tuhan itu tiada lain kecuali sekedar ilusi dan
khayalan belaka, tidak bersandar kepada logika yang sehat maupun ilmu
pengetahuan yang kokoh.
Allah
berfirman dalam al-Qur`an
وَقَالُواْ مَا هِىَ إِلَّا
حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ إِلَّا الدَّهْرُج
Mereka
berkata: Kehidupan ini tiada lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati
dan kita hidup. Dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.”
(al-Jaatsiyah,45: 24)
Esensi
iman kepada Allah SWT adalah “Tauhid yaitu mengesakan-Nya, baik dalam zat,
asma’ was-shiffaat, maupun af`al (perbuatan)-Nya.”
Bertambah
bersih cara kita berfikir, bertambah terbukalah jalan kepada Tauhid. Akhir
perjalanan akal, walaupun dari pangkal yang mana kita mulai, hanyalah satu
ucapan saja, yaitu:
لَاإِلهَ
إِلَّا اللهُ.
“Tiada Tuhan
melainkan Allah.”
Tiada satu
makhluk pun sejak dari yang sebesar-besarnya, sampai yang sekecil-kecilnya yang
akan sanggup kita “kandidatkan” menjadi Tuhan.
Kalimat
لَاإِلهَ
إِلَّا اللهُ memiliki banyak sekali
pengaruh atau hikmah yang luar biasa dalam kehidupan seorang mukmin,
diantaranya:
1.
Dengan kalimat ini, orang mukmin
tidak perlu susah, sebab mereka berbeda dengan pemganut politeisme, atau
orang-orang yang mengingkari kalimat tauhid.
2.
Mengimani kalimat ini akan melahirkan
kemuliaan jiwa yang tidak tergantikan oleh apa pun, karena tidak ada yang bisa
memberi manfaat selain Allah, dan tiada yang mampu menimpakan marabahaya selain
Dia. Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Dia Maha Bijaksana, Maha Kuat,
Raja Para Raja, sehingga lenyap rasa takut dari hati, selain rasa takut
kepada-Nya, tidak menundukkan kepala pada seorang manusia pun dan hanya tunduk
pada-Nya, tidak mengemis ataupun takut pada kebesaran manusia, karena hanya Dia
semata pemilik kebesaran, keagungan, dan kuasa. Ini tentu berbeda dengan orang
musyrik, kafir, dan ateis.
3.
Kalimat tauhid melahirkan sifat
rendah hati, namun bukan berarti hina, dan sifat mulia, namun bukan berarti
sombong.
4.
Dengan kalimat ini, orang mukmin
tahu dengan yakin bahwa tiada jalan menuju keselamatan dan keberuntungan selain
dengan membersihkan jiwa dan beramal saleh. Sementara orang-orang musyrik dan
kafir menghabiskan hidup di atas angan-angan dusta, sebagian dari mereka
berkata, “anak Allah dibunuh dan disalib untuk menebus dosa-dosa kita di sisi
Ayahnya.” Yang lain berkata, “kami anak-anak dan para kesayangan Allah. Kami
tidak akan disiksa karena dosa-dosa kami.” Ada juga yang berkata, “kami akan
mendapat syafaat di sisi Allah melalui para pembesar dan orang-orang bertakwa
di antara kami.”
5.
Orang yang mengucapkan kalimat
ini tidak memiliki sifat putus asa, karena ia meyakini bahwa Allah memiliki
perbendaharaan langit dan bumi, karena itulah ia selalu merasa tenang,
tenteram, dan berharap, hingga meskipun terusir, dihinakan dan jalan hidupnya
penuh rintangan.
6.
Mengimani kalimat ini akan
mendidik seseorang untuk memiliki tekad kuat, berani, sabar, tegar, dan tawakal
ketika menghadapi masalah-masalah pelik demi mencari ridha Allah. Ia merasa di
baliknya terdapat kekuatan Pemilik langit dan bumi, sehingga konsep inilah yang
menjadi tumpuan kekuatannya, kuat laksana gunung.
7.
Kalimat ini mendorong dan
memenuhi hati seseorang dengan keberanian, karena yang membuat orang bersifat
pengecut dan melemahkan tekad ada dua; cinta diri, harta, keluarga, atau
memiliki keyakinan ada sosok lain selain Allah yang mematikan seseorang.
8.
Mengimani لَاإِلهَ إِلَّا اللهُ membuat seseorang mengindahkan dan
menjaga syariat Allah, karena orang mukmin yakin bahwa Allah Maha melihat
segala sesuatu. Dia lebih dekat padanya melebihi urat lehernya sendiri. Meski
bisa melepaskan diri dari serangan apa pun, ia tetap saja tidak bisa melepaskan
diri dari Allah. Seberapa kuat keimananan ini tertanam dalam benak seseorang,
seperti itu pula kekuatannya dalam mengikuti dan mengindahkan hukum-hukum
Allah, tidak berani menerjang larangan-Nya, bersegera mengerjakan segala
kebaikan dan menunaikan perintahn-Nya.
Maka
Tauhid adalah “roh-nya agama Islam dan jauhar intisarinya dan pusat dari
seluruh peribadatannya. Laksana tanah kering, menjadi suburlah dia kalau telah
disiram oleh air Tauhid. Al-Qur`an menjelaskan hakikatnya berulang-ulang.”
Secara
sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan atau tahapan, yaitu:
A. Tauhid Rububiyah, yaitu
mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Rabb
B. Tauhid Mulkiyah, yaitu
mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik
C. Tauhid Ilahiyah, yaitu
mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah.
Setelah
kita mengetahui siapakah Tuhan, dan bagaimana cara beriman beriman, tentu kita
harus mengetahui Etika terhadap-Nya. Dalam beretika terhadap Sang Pencipta
tentu berbeda dengan etika kita terhadap makhluk-Nya, seperti manusia. Apabila
etika kita kepada Sang Maha Pencipta sudah baik, tentu kepada makhluk-Nya akan baik
pula.
Orang
muslim melihat dalam dirinya nikmat-nikmat Allah Ta’ala yang tidak bisa
dikalkulasikan sejak ia masih berupa sperma di perut ibunya hingga ia menghadap
Allah Ta’ala. Oleh karena itu, ia bersyukur kepada-Nya atas
nikmat-nikmat tersebut dengan lisannya dengan memuji-Nya dan menyanjung-Nya
karena Dia berhak mendapatkan sanjungan dan ia bersyukur dengan anggota
badannya dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya. Ini etikanya terhadap
Allah Ta’ala, sebab tidak etis mengingkari nikmat, menentang keutamaan
Pemberi nikmat, memungkiri-Nya, memungkiri kebaikan-Nya, dan memungkiri
nikmat-nikmat-Nya.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur`an, yang artinya:
“Dan
apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah.”
(an-Nahl:53)
Allah
Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Dan
jika kalian menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak dapat
menentukan jumlahnya.” (an-Nahl:18)
Allah
Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Karena
itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat kepada kalian, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari (nikmat)-Ku.”
(al-Baqarah: 152)
Orang muslim mengakui pengetahuan
Allah Ta’ala kepadanya, dan penglihatan-Nya terhadap seluruh kondisinya,
kemudian hatinya penuh dengan ketakutan kepada-Nya, dan mengagungkan-Nya. Ia
malu bermaksiat kepada-Nya, menentang-Nya, dan tidak taat kepada-Nya. Inilah
etikanya terhadap Allah Ta’ala, sebab sangat tidak etis seorang hamba
mempertontonkan kemaksiatannya kepada Tuhannya, atau mempersembahkan keburukan
kepada-Nya, padahal Dia melihatnya dan menyaksikannya.
Orang
muslim berpendapat bahwa Allah Mahakuasa atas dirinya, dan memegang
ubun-ubunnya. Ia tidak mempunyai tempat melarikan diri, atau tempat
menyelamatkan diri, kecuali kepada-Nya, kemudian ia lari menghadap kepada-Nya,
menjatuhkan diri didepan-Nya, menyerahkan seluruh persoalan kepada-Nya, dan
bertawakal kepada-Nya. Inilah etikanya terhadap Tuhan, dan Penciptanya.
Orang
muslim melihat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala dalam semua urusannya,
rahmat-Nya kepadanya, kepada semua makhluk-Nya, kemudian ia ingin mendapatkan
tambahan rahmat-Nya, tunduk kepada-Nya dengan ketundukan dan do`a yang ikhlas,
bertawasul kepada-Nya dengan perkataan yang baik, dan amal perbuatan yang
shalih.
Orang
muslim melihat kedahsyatan kekuatan Tuhannya, kekuatan pembalasan-Nya, dan
kecepatan penghisaban-Nya, kemudian ia bertakwa dengan taat, dan tidak
bermaksiat kepada-Nya.
Orang Muslim melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia bermaksiat dan tidak
taat kepada-Nya. Ia merasa seolah-olah ancaman Allah Ta’ala telah
mengenai dirinya, siksa-Nya telah terjadi padanya, dan hukumannya telah turun
kepadanya. Ia juga melihat kepada Allah Ta’ala ketika ia taat dan
mengikuti syariat-Nya. Ia merasa seolah-olah Dia telah memberikan janji-Nya
kepadanya, dan pakaian keridhaan telah dikenakan padannya, kemudian ia berbaik
sangka kepada-Nya.
Sebagai
seorang muslim atau muslimah sangat penting bagi kita untuk meyakini bahwa
Tuhan itu ada, dan beriman kepada Allah. Seorang muslim wajib mengesakan Allah Ta’ala,
tidak ada satupun yang dapat menyetarakan-Nya. Dengan men-tauhid-kan
Allah, tentu banyak sekali hikmah atau pengaruh yang dapat kita ambil dalam
kehidupan sehari-sehari.
Demikianlah
artikel yang berjudul Iman kepada Allah dan Hikmahnya dalam Kehidupan ini.
Penulis berharap artikel ini tidak hanya berguna sebagai tugas mata kuliah
individu penulis, tetapi juga sebagai bahan acuan penulis untuk mengesakan
Allah Ta’ala semata.
Ttd
Awiddatuts Tsiqoh
REFERENSI