Kamis, 15 Januari 2015

Pembiasaan dari orang tua, laksanakan atau tidak?


Seorang hamba sudah ditentukan maut, rizky dan jodohnya. Manusia sering berdo’a semoga ia, keluarga dan orang-orang terdekatnya masuk ke dalam Jannah-Nya, tapi apakah kita pernah memantaskan diri? Pantaskah diri ini yang dalam membaca al-qur’an saja masih terbata-bata, masih salah dalam melafadzkan huruf-huruf al-qur’an, masih sering salah menerapkan hukum tajwid dalam tadarus. Apakah pantas? Jangankan untuk tadarus bahkan diantara kita masih banyak yang meninggalkan kewajiban, salah satunya adalah shalat fardhu.
Mengaku sudah dewasa, ketika ayah atau ibu melarang untuk keluar rumah bersama teman-teman yang lain, remaja justru akan mengabaikannya dan akan berkata ‘Aku sudah besar, aku bisa jaga diri, aku hanya akan keluar sebentar’. Karena keras kepalanya itu, remaja sering kali keluar tanpa pamit, menganggap dirinya sudah dewasa, sudah dapat menjaga diri, tapi kenyataannya ketika ia bersama temannya terkadang ia melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim/ah yang sudah mukalaf yaitu shalat.
Tidak jarang saya melihat ketika pulang bimbel banyak anak  remaja smp, sma dan sederajat masih nongkrong-nongkrong di warung padahal waktu hampir saja maghrib. Dengan memegang sepuntung rokok ditangan, ada juga yang memainkan gas motor. Sekilas aku langsung teringat pesan papah kepadaku dan kakak-kakakku ‘Anak papah dan umi, jam 5 sudah harus dirumah jika tidak ada keperluan yang sangat darurat, sudah harus siap-siap untuk melaksanakan shalat maghrib’
Perkataan itu yang selalu membuatku takut untuk pulang terlalu sore, bukan karena ayahku galak atau tidak diberi uang jajan, tapi yang kutakutkan adalah aku tidak akan dianggap sebagai anak lagi *pikiranku terlalu jauh untuk pola pikir ana remaja smp waktu itu* karena yang aku tahu adalah, ridha Allah terletak pada ridha Orangtuanya, terutama ibu. Aku tak ingin menjadi durhaka seperti legenda malin kundang. Aku hanya ingin seperti Fathimah Azzahra yang menjadi anak yang berbakti kepada agama dan orangtua.
Papah selalu melarang anak-anaknya untuk menyalakan media elektronik seperti televisi, radio, mp3 atau apapun dari maghrib sampai isya. Sudah menjadi kebiasaan keluarga untuk tadarus pada jam segitu. Bahkan anak perempuan yang berhalangan pun dilarang untuk melakukan itu. Aku adalah anak yang paling cerewet. Aku selalu bertanya kenapa tidak boleh, kenapa dilarang, apakah haram? Terkadang papah dan umi hanya diam, hanya menjawab suatu saat kamu akan mengerti kenapa papah dan umi melarang.
Lambat laun aku pun mengerti, papah dan umi tidak boleh pulang terlambat karena hanya menginginkan anak-anaknya hidup disiplin, dibiasakan tadarus karena membaca al-qur’an adalah kewajiban setiap muslim, pedoman hidup, sahabat bahkan penolong kita nanti di alam kubur adalah al-qur’an. Tidak boleh menyalakan media elektronik walau sedang berhalangan agar kita belajar mnghormati sesama.
Tidak hanya itu, banyak kebiasaan-kebiasaan Islami lain yang papah dan umi terapkan di keluarga. Dan setiap kebiasaan itu, aku selalu memikirkan apa maksud dan tujuan papah dan umi. Dan aku ingat pesan bibiku *tante* selama papah dan umi memerintahkan kamu untuk melakukan sesuatu, kerjakan saja, tak perlu banyak tanya selama itu sesuai syariat Islam.

Ketulusan Seorang Sahabat



Kawan, aku selalu ingin melihat kalian bahagia, kalian tersenyum, kalian tertawa. Itu bukan sebuah kemunafikan, tapi ini adalah benar-benar tulus dari hati. Mungkin kalian berfikir di jaman modern seperti saat ini, sedikit rasanya orang yang benar-benar tulus, kecuali kebanyakan orang yang berfikir pragmatis. Tapi ketahuilah bahwa ketulusan seorang sahabat dan saudara itu masih ada.
Kalian mungkin sering melihat di televisi beberapa persahabatan terpecah belah, bahkan  keluarga. Tapi yakinlah bila kalian masih berprinsip berdasarkan agama dan keyakinan pasti kalian mendapatkan kata TULUS dan IKHLAS itulah kunci yang harus dipegang dalam sebuah hubungan persahabatan atau saudara.
Tidak ada kata persaingan dalam sebuah hubungan persahabatan dan persaudaraan kecuali dalam kebaikan, yang ada hanyalah sebuah kata ketulusan. Aku selalu berusaha melakukan semampuku untuk para sahabatku, walaupun itu hanya mendengarkan ceritamu. Disaat kalian butuh didengarkan, aku ingin ada dibarisan paling depan untuk mendengarkan ceritamu. Yang kuperlukan hanyalah keterbukaanmu dalam bercerita, tidak ada sekecil apapun yang kamu sembunyikan sehingga aku tidak akan salah dalam menilaimu.
Ya, aku memang bukanlah seseorang motivator bahkan inspirator yang akan memberikan kamu solusi tapi setidaknya aku akan selalu mencoba menjadi pendengar baik untuk kalian sahabat. Mendengar cerita senang, sedih, haru bahkan menegangkan, itu semua membuat kita terasa dekat. Namun, setelah aku mendengar kalian, aku tidak menjamin akan memberi solusi yang baik, atau mungkin aku hanya akan terdiam. Tapi ada satu hal yang ingin aku selalu katakan.
Kawan, ingatlah ada Sang Maha Pengatur, Dia yang memberi hidayah semua orang. Yakinlah, dan jangan hanya bercerita denganku saja, tapi dengan-Nya juga. Temui Dia selalu di dalam shalatmu, ceritalah pada-Nya, dan mintalah solusi serta hidayah dari-Nya. Bukan mencoba menasehati atau menggurui, tapi aku hanya ingin menjadi sahabat yang membuat kalian selalu ingat dengan-Nya ketika melihatku. Aku hanyalah hamba ciptaan-Nya yang memiliki keterbatasan dan ketidakmampuan tanpa seizin-Nya. Tapi aku berdo’a semoga aku bisa menjadi seorang sahabat yang berguna bagi kalian, sahabat yang siap untuk mendengarkan kalian dan siap untuk membantu kalian.