Seorang hamba sudah ditentukan maut, rizky dan jodohnya. Manusia sering berdo’a semoga ia, keluarga dan orang-orang terdekatnya masuk ke dalam Jannah-Nya, tapi apakah kita pernah memantaskan diri? Pantaskah diri ini yang dalam membaca al-qur’an saja masih terbata-bata, masih salah dalam melafadzkan huruf-huruf al-qur’an, masih sering salah menerapkan hukum tajwid dalam tadarus. Apakah pantas? Jangankan untuk tadarus bahkan diantara kita masih banyak yang meninggalkan kewajiban, salah satunya adalah shalat fardhu.
Mengaku sudah
dewasa, ketika ayah atau ibu melarang untuk keluar rumah bersama teman-teman
yang lain, remaja justru akan mengabaikannya dan akan berkata ‘Aku sudah besar,
aku bisa jaga diri, aku hanya akan keluar sebentar’. Karena keras kepalanya
itu, remaja sering kali keluar tanpa pamit, menganggap dirinya sudah dewasa,
sudah dapat menjaga diri, tapi kenyataannya ketika ia bersama temannya
terkadang ia melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim/ah yang sudah
mukalaf yaitu shalat.
Tidak jarang
saya melihat ketika pulang bimbel banyak anak remaja smp, sma dan sederajat masih
nongkrong-nongkrong di warung padahal waktu hampir saja maghrib. Dengan
memegang sepuntung rokok ditangan, ada juga yang memainkan gas motor. Sekilas
aku langsung teringat pesan papah kepadaku dan kakak-kakakku ‘Anak papah dan
umi, jam 5 sudah harus dirumah jika tidak ada keperluan yang sangat darurat,
sudah harus siap-siap untuk melaksanakan shalat maghrib’
Perkataan itu
yang selalu membuatku takut untuk pulang terlalu sore, bukan karena ayahku
galak atau tidak diberi uang jajan, tapi yang kutakutkan adalah aku tidak akan
dianggap sebagai anak lagi *pikiranku terlalu jauh untuk pola pikir ana remaja
smp waktu itu* karena yang aku tahu adalah, ridha Allah terletak pada ridha
Orangtuanya, terutama ibu. Aku tak ingin menjadi durhaka seperti legenda malin
kundang. Aku hanya ingin seperti Fathimah Azzahra yang menjadi anak yang
berbakti kepada agama dan orangtua.
Papah selalu
melarang anak-anaknya untuk menyalakan media elektronik seperti televisi,
radio, mp3 atau apapun dari maghrib sampai isya. Sudah menjadi kebiasaan
keluarga untuk tadarus pada jam segitu. Bahkan anak perempuan yang berhalangan
pun dilarang untuk melakukan itu. Aku adalah anak yang paling cerewet. Aku
selalu bertanya kenapa tidak boleh, kenapa dilarang, apakah haram? Terkadang
papah dan umi hanya diam, hanya menjawab suatu saat kamu akan mengerti kenapa
papah dan umi melarang.
Lambat laun
aku pun mengerti, papah dan umi tidak boleh pulang terlambat karena hanya
menginginkan anak-anaknya hidup disiplin, dibiasakan tadarus karena membaca
al-qur’an adalah kewajiban setiap muslim, pedoman hidup, sahabat bahkan
penolong kita nanti di alam kubur adalah al-qur’an. Tidak boleh menyalakan
media elektronik walau sedang berhalangan agar kita belajar mnghormati sesama.
Tidak hanya
itu, banyak kebiasaan-kebiasaan Islami lain yang papah dan umi terapkan di
keluarga. Dan setiap kebiasaan itu, aku selalu memikirkan apa maksud dan tujuan
papah dan umi. Dan aku ingat pesan bibiku *tante* selama papah dan umi
memerintahkan kamu untuk melakukan sesuatu, kerjakan saja, tak perlu banyak
tanya selama itu sesuai syariat Islam.